Manifesto Moral Mahasiswa

October 22, 2025 0 Comments A+ a-

AR Property

    Semakin hari, di tengah hiruk pikuk perkuliahan dewasa ini, sungguh ironi melihat wajah kampus yang mulai samar terlihat mengemban misi perjuangan sebagaimana yang ditulis Eko Prasetyo. Ia tak lagi dimaknai sebagai ruang kritis seperti yang diterjemahkan Paulo Freire, atau ruang pembebasan gender sebagaimana digagas bell hooks. Kampus kini berubah drastis bahkan melampaui kritik Ignas Kleden yang menyebutnya sekadar pencetak tenaga kerja, atau Noam Chomsky yang menudingnya tunduk pada kekuasaan dan militer, juga Pierre Bourdieu yang melihatnya sebagai alat reproduksi kelas sosial.

Jika demikian halnya, apa jadinya kampus hari ini? Kita belajar banyak tentang kampus serta pengaruhnya dalam ruang sosial. Namun perkembangan yang begitu cepat seolah menjauhkan dunia pendidikan dari nilai-nilai kemanusiaan. Indonesia, sebagai negara berkembang, terus dipaksa beradaptasi dengan kemajuan teknologi, dari kecerdasan buatan hingga robotika dan mobil tanpa pengemudi. Perkembangan memang tak terelakkan, tetapi sudahkah kita siap mengikutinya dengan arah dan makna yang jelas?

Kemajuan seharusnya diukur bukan dari seberapa canggih teknologi kita, melainkan dari seberapa besar manfaatnya bagi manusia dan lingkungan. “Negara berkembang” sering kali hanyalah istilah sopan untuk menyebut negara yang masih minim kreativitas dan kemandirian. Kita sering merasa hebat hanya karena mampu menjelaskan bagaimana bumi berputar, padahal di luar sana negara maju telah menciptakan inovasi yang bahkan tampak irasional bagi kita.

Tulisan ini bukan cemoohan bagi siapa pun, ini refleksi bagi diri saya sendiri, dan mungkin juga bagi kita semua. Kita perlu naik level, dari sekadar mengamati menuju memahami, dari memahami menuju merencanakan, dan dari merencanakan menuju aksi nyata. Kita tertinggal, sungguh tertinggal. Sudah saatnya pembicaraan mahasiswa naik pada tataran penemu, pencipta, dan promotor. Era keterbukaan hari ini membuka peluang besar, bersaing bukan lagi hal mustahil, bahkan kita bisa sejajar dengan negara maju bila berani menentukan arah.

Bangkitlah mahasiswa Indonesia. Ketertinggalan bukan akhir dari kekalahan, tetapi fondasi untuk menyalakan kembali api perjuangan. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan strategi, seakan-akan sedang memainkan bidak catur penentu sejarah. Tidak ada yang perlu ditakutkan, karena bangsa ini lahir dari perjuangan panjang dan terbiasa melawan keterpurukan. Tanpa sumbangsih substantif mahasiswa, bangsa ini akan kehilangan denyut perubahan.

Agent of Change” bukan semboyan sederhana, tetapi amanah peradaban. Rotasi kepemimpinan bangsa akan sampai pada era kita. Maka duduklah sejenak dan renungkan, betapa dekatnya kita dengan peran sebagai lokomotif bangsa. Kita adalah penentu dan kita tidak boleh membiarkan bangsa ini tenggelam dalam ketidakpastian.

Bangkitlah mahasiswa. Dalam dirimu ada harapan besar para founding fathers yang kini tersenyum di surga. Maka, mari kita isi ruang kampus dengan diskursus yang konstruktif, sains, sosial, politik, lingkungan, dan kebudayaan. Setiap mahasiswa punya tanggung jawab berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama “menyiapkan masa depan bangsa yang lebih bermartabat”.

Maka dari itu untuk mencapainya, muncul pertanyaan penting, kesadaran seperti apa yang harus dimiliki mahasiswa agar kampus kembali menjadi ruang perjuangan? Salah satu jawabannya terletak pada tiga kesadaran moral berikut.

Sense of Belonging (Menyadari Siapa Kita dan Di Mana Kita Berpijak)

Banyak mahasiswa yang belum benar-benar sadar bahwa mereka telah menjadi mahasiswa. Fenomena ini terjadi bukan karena kurangnya kecerdasan, melainkan karena tidak memahami peran dan fungsinya. Mahasiswa kini sering terjebak dalam rutinitas akademik tanpa arah perjuangan. Padahal, peningkatan jumlah mahasiswa setiap tahun seharusnya menjadi indikator kemajuan bangsa bukan sekadar statistik pendidikan.

Sense of Belonging atau rasa memiliki dapat menjadi titik balik. Ia dapat dibangun melalui keterlibatan dalam organisasi, forum, dan ruang diskusi kampus. Organisasi bukan sekadar wadah aktivitas, tetapi ruang pembentukan kesadaran sosial dan tanggung jawab moral. Rasa memiliki bukan tentang arogansi kelompok, tetapi tentang kesadaran bahwa mahasiswa berbeda, dalam cara berpikir, bertindak, dan memaknai misi kebangsaan.

Ketika mahasiswa kehilangan rasa memiliki terhadap kampus dan visinya, proses belajar berubah menjadi rutinitas tanpa makna. Hubungan sosial menjadi rapuh, dan idealisme kehilangan arah. Karena itu, membangun sense of belonging berarti meneguhkan makna kehadiran di dunia akademik bahwa kita tidak sekadar mencari nilai, tetapi membangun nilai bersama. Dalam dunia yang penuh distraksi dan kompetisi, rasa memiliki menjadi jangkar yang menjaga manusia dari keterasingan, menumbuhkan empati, dan menyalakan kembali api partisipasi.

Sense of Purpose (Menentukan Arah dan Makna Perjuangan)

Kesadaran akan identitas mahasiswa akan menuntun kita memahami tanggung jawab besar yang diemban. Namun setelah memahami siapa diri kita, langkah berikutnya adalah menentukan untuk apa kita berjuang. Sense of Purpose adalah kesadaran akan arah, makna, dan tujuan pendidikan yang kita tempuh.

Mahasiswa yang memiliki sense of purpose tidak hanya belajar untuk lulus, tetapi untuk memberi kontribusi nyata bagi masyarakat. Ia menjadi kompas batin yang mengarahkan kita agar tidak terjebak pada ambisi pribadi, melainkan berorientasi pada kebermanfaatan sosial. Rasa tujuan ini melahirkan motivasi intrinsik yang kuat membuat kita tangguh menghadapi kegagalan dan konsisten dalam perjuangan.

Rasa memiliki (belonging) membuat kita mengakar, sedangkan tujuan (purpose) membuat kita melangkah. Keduanya menjadi fondasi yang menumbuhkan karakter mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab sejarahnya.

📌 Baca Juga:

Jaga Desa-                                                                          – Malang Jalan Panjang: Catatan Perjalanan-

Sense of Responsibility (Menjawab Tuntutan Zaman dengan Aksi Nyata)

Perjalanan tidak berhenti di sana. Setelah meresapi rasa memiliki dan arah tujuan, mahasiswa perlu menumbuhkan Sense of Responsibility. Kesadaran untuk bertanggung jawab atas pengetahuan, tindakan, dan dampaknya bagi kehidupan sosial. Tanggung jawab bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bukti kedewasaan intelektual. Ia menuntut mahasiswa tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga bertindak etis. Dalam dunia yang serba cepat dan kompleks, mahasiswa dengan sense of responsibility akan menjadi pengendali arah perubahan, bukan sekadar pengikut arus.

Tanggung jawab sosial inilah yang membedakan antara “pintar” dan “bermakna”. Mahasiswa yang memiliki sense of responsibility tidak menunggu perubahan datang, tetapi menciptakannya melalui riset, karya, gerakan, dan solidaritas. Dengan rasa tanggung jawab, mahasiswa bukan hanya penerima pengetahuan, tetapi penjaga nilai kemanusiaan di tengah pusaran kemajuan.

Menuju Kesadaran Kolektif Bangsa

Kini kita berada pada persimpangan penting sejarah. Kampus tidak boleh lagi menjadi menara gading yang terputus dari realitas sosial. Ia harus menjadi ruang pembebasan, ruang pembentukan nilai, dan ruang penciptaan masa depan. Kita para mahasiswa bukan hanya bagian dari sistem pendidikan, tetapi bagian dari sejarah bangsa. Ketertinggalan bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk bergerak lebih jauh. Seperti kata Soekarno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya kuguncangkan dunia.” Kini tugas itu ada di pundak kita. “Bangkitlah mahasiswa Indonesia. Nyalakan kembali api perjuangan yang akan menentukan wajah bangsa esok hari.”