Manifesto Moral Mahasiswa
![]() |
| AR Property |
Semakin hari, di tengah hiruk pikuk perkuliahan dewasa ini, sungguh ironi melihat wajah kampus yang mulai samar terlihat mengemban misi perjuangan sebagaimana yang ditulis Eko Prasetyo. Ia tak lagi dimaknai sebagai ruang kritis seperti yang diterjemahkan Paulo Freire, atau ruang pembebasan gender sebagaimana digagas bell hooks. Kampus kini berubah drastis bahkan melampaui kritik Ignas Kleden yang menyebutnya sekadar pencetak tenaga kerja, atau Noam Chomsky yang menudingnya tunduk pada kekuasaan dan militer, juga Pierre Bourdieu yang melihatnya sebagai alat reproduksi kelas sosial.
Jika demikian
halnya, apa jadinya kampus hari ini? Kita belajar banyak tentang kampus serta
pengaruhnya dalam ruang sosial. Namun perkembangan yang begitu cepat seolah
menjauhkan dunia pendidikan dari nilai-nilai kemanusiaan. Indonesia, sebagai
negara berkembang, terus dipaksa beradaptasi dengan kemajuan teknologi, dari
kecerdasan buatan hingga robotika dan mobil tanpa pengemudi. Perkembangan
memang tak terelakkan, tetapi sudahkah kita siap mengikutinya dengan arah dan
makna yang jelas?
Kemajuan
seharusnya diukur bukan dari seberapa canggih teknologi kita, melainkan dari
seberapa besar manfaatnya bagi manusia dan lingkungan. “Negara berkembang”
sering kali hanyalah istilah sopan untuk menyebut negara yang masih minim
kreativitas dan kemandirian. Kita sering merasa hebat hanya karena mampu
menjelaskan bagaimana bumi berputar, padahal di luar sana negara maju telah
menciptakan inovasi yang bahkan tampak irasional bagi kita.
Tulisan ini
bukan cemoohan bagi siapa pun, ini refleksi bagi diri saya sendiri, dan mungkin
juga bagi kita semua. Kita perlu naik level, dari sekadar mengamati menuju
memahami, dari memahami menuju merencanakan, dan dari merencanakan menuju aksi
nyata. Kita tertinggal, sungguh tertinggal. Sudah saatnya pembicaraan mahasiswa
naik pada tataran penemu, pencipta, dan promotor. Era keterbukaan hari ini
membuka peluang besar, bersaing bukan lagi hal mustahil, bahkan kita bisa
sejajar dengan negara maju bila berani menentukan arah.
Bangkitlah
mahasiswa Indonesia. Ketertinggalan bukan akhir dari kekalahan, tetapi fondasi
untuk menyalakan kembali api perjuangan. Setiap langkah harus diperhitungkan
dengan strategi, seakan-akan sedang memainkan bidak catur penentu sejarah.
Tidak ada yang perlu ditakutkan, karena bangsa ini lahir dari perjuangan
panjang dan terbiasa melawan keterpurukan. Tanpa sumbangsih substantif
mahasiswa, bangsa ini akan kehilangan denyut perubahan.
“Agent of
Change” bukan semboyan sederhana, tetapi amanah peradaban. Rotasi
kepemimpinan bangsa akan sampai pada era kita. Maka duduklah sejenak dan
renungkan, betapa dekatnya kita dengan peran sebagai lokomotif bangsa. Kita
adalah penentu dan kita tidak boleh membiarkan bangsa ini tenggelam dalam
ketidakpastian.
Bangkitlah
mahasiswa. Dalam dirimu ada harapan besar para founding fathers yang kini
tersenyum di surga. Maka, mari kita isi ruang kampus dengan diskursus yang
konstruktif, sains, sosial, politik, lingkungan, dan kebudayaan. Setiap
mahasiswa punya tanggung jawab berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama “menyiapkan
masa depan bangsa yang lebih bermartabat”.
Maka dari itu untuk mencapainya, muncul pertanyaan penting, kesadaran seperti apa yang harus dimiliki mahasiswa agar kampus kembali menjadi ruang perjuangan? Salah satu jawabannya terletak pada tiga kesadaran moral berikut.
Sense of Belonging (Menyadari
Siapa Kita dan Di Mana Kita Berpijak)
Banyak
mahasiswa yang belum benar-benar sadar bahwa mereka telah menjadi mahasiswa.
Fenomena ini terjadi bukan karena kurangnya kecerdasan, melainkan karena tidak
memahami peran dan fungsinya. Mahasiswa kini sering terjebak dalam rutinitas
akademik tanpa arah perjuangan. Padahal, peningkatan jumlah mahasiswa setiap
tahun seharusnya menjadi indikator kemajuan bangsa bukan sekadar statistik
pendidikan.
Sense of
Belonging atau rasa memiliki dapat menjadi titik balik. Ia dapat dibangun
melalui keterlibatan dalam organisasi, forum, dan ruang diskusi kampus.
Organisasi bukan sekadar wadah aktivitas, tetapi ruang pembentukan kesadaran
sosial dan tanggung jawab moral. Rasa memiliki bukan tentang arogansi kelompok,
tetapi tentang kesadaran bahwa mahasiswa berbeda, dalam cara berpikir,
bertindak, dan memaknai misi kebangsaan.
Ketika
mahasiswa kehilangan rasa memiliki terhadap kampus dan visinya, proses belajar
berubah menjadi rutinitas tanpa makna. Hubungan sosial menjadi rapuh, dan
idealisme kehilangan arah. Karena itu, membangun sense of belonging berarti
meneguhkan makna kehadiran di dunia akademik bahwa kita tidak sekadar mencari
nilai, tetapi membangun nilai bersama. Dalam dunia yang penuh distraksi dan
kompetisi, rasa memiliki menjadi jangkar yang menjaga manusia dari
keterasingan, menumbuhkan empati, dan menyalakan kembali api partisipasi.
Sense of Purpose (Menentukan
Arah dan Makna Perjuangan)
Kesadaran akan
identitas mahasiswa akan menuntun kita memahami tanggung jawab besar yang
diemban. Namun setelah memahami siapa diri kita, langkah berikutnya adalah
menentukan untuk apa kita berjuang. Sense of Purpose adalah kesadaran akan
arah, makna, dan tujuan pendidikan yang kita tempuh.
Mahasiswa yang
memiliki sense of purpose tidak hanya belajar untuk lulus, tetapi untuk memberi
kontribusi nyata bagi masyarakat. Ia menjadi kompas batin yang mengarahkan kita
agar tidak terjebak pada ambisi pribadi, melainkan berorientasi pada
kebermanfaatan sosial. Rasa tujuan ini melahirkan motivasi intrinsik yang kuat
membuat kita tangguh menghadapi kegagalan dan konsisten dalam perjuangan.
Rasa memiliki (belonging) membuat kita mengakar, sedangkan tujuan (purpose) membuat kita melangkah. Keduanya menjadi fondasi yang menumbuhkan karakter mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab sejarahnya.
📌 Baca Juga:
– Jaga Desa- – Malang Jalan Panjang: Catatan Perjalanan-
Sense of
Responsibility (Menjawab Tuntutan Zaman dengan Aksi Nyata)
Perjalanan
tidak berhenti di sana. Setelah meresapi rasa memiliki dan arah tujuan,
mahasiswa perlu menumbuhkan Sense of Responsibility. Kesadaran untuk
bertanggung jawab atas pengetahuan, tindakan, dan dampaknya bagi kehidupan
sosial. Tanggung jawab bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bukti
kedewasaan intelektual. Ia menuntut mahasiswa tidak hanya berpikir kritis,
tetapi juga bertindak etis. Dalam dunia yang serba cepat dan kompleks,
mahasiswa dengan sense of responsibility akan menjadi pengendali arah
perubahan, bukan sekadar pengikut arus.
Tanggung jawab sosial
inilah yang membedakan antara “pintar” dan “bermakna”. Mahasiswa yang memiliki
sense of responsibility tidak menunggu perubahan datang, tetapi menciptakannya
melalui riset, karya, gerakan, dan solidaritas. Dengan rasa tanggung jawab, mahasiswa
bukan hanya penerima pengetahuan, tetapi penjaga nilai kemanusiaan di tengah
pusaran kemajuan.
Menuju
Kesadaran Kolektif Bangsa
Kini kita berada pada persimpangan penting sejarah. Kampus tidak boleh lagi menjadi menara gading yang terputus dari realitas sosial. Ia harus menjadi ruang pembebasan, ruang pembentukan nilai, dan ruang penciptaan masa depan. Kita para mahasiswa bukan hanya bagian dari sistem pendidikan, tetapi bagian dari sejarah bangsa. Ketertinggalan bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk bergerak lebih jauh. Seperti kata Soekarno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya kuguncangkan dunia.” Kini tugas itu ada di pundak kita. “Bangkitlah mahasiswa Indonesia. Nyalakan kembali api perjuangan yang akan menentukan wajah bangsa esok hari.”

